Sebagai sebuah dasar negara dan ideologi yang telah disepakati oleh para pendiri bangsa, Pancasila mengandung nilai-nilai yang bersinergi dengan agama demi terciptanya kerukunan bangsa. Akan tetapi pada implementasinya di lapangan, keragaman suku, budaya, dan agama yang ada di Indonesia masih menimbulkan perbedaan pandangan di masyarakat terhadap pengamalan nilai-nilai Pancasila.
Oleh karena itu, Wakil Presiden, Ma’ruf Amin menyampaikan bahwa agama seharusnya dapat dipahami secara moderat dengan tanpa mengorbankan ajaran-ajaran dasar agama dan sebaliknya. Bukan pemahaman yang bersifat radikal, ekstrim atau liberal.
“Untuk menjaga agar Pancasila tetap dipahami secara komprehensif maka tidak boleh dipahami secara parsial antara satu sila dengan sila yang lain. Dan diperlukan pemahaman Pancasila secara utuh sebagaimana dirumuskan dan dipahami oleh para pendiri bangsa. Pancasila tidak boleh didorong ke arah pemahaman yang menyimpang seperti sekularisme, liberalisme atau komunisme”, tegas Wakil Presiden (Wapres) K. H. Ma’ruf Amin pada acara Simposium Nasional dengan tema “Studi dan Relasi Lintas Agama Berparadigma Pancasila (SIGMA Pancasila) melalui konferensi video di kediaman resmi Wapres, Jalan Diponegoro Nomor 2, Jakarta Pusat, Kamis (10/9/2020).
Di sisi lain, orang nomor dua di tanah air tersebut juga menekankan perlunya upaya-upaya mewujudkan kehidupan yang dan harmonis antar umat beragama untuk mendorong pemahaman yang menyeluruh. Karena kerukunan merupakan faktor kunci penunjang keberhasilan pembangunan nasional.
“Pancasila sudah terbukti mampu menjaga kerukunan seluruh bangsa, sehingga tercipta integrasi nasional. Oleh karena itu, kita harus mampu menangkal berkembangnya paham-paham yang mengancam Pancasila dan persatuan nasional. Padahal persatuan nasional merupakan prasyarat bagi terwujudnya stabilitas nasional, sementara stabilitas nasional merupakan prasyarat bagi kelancaran dan keberhasilan pembangunan nasional”, imbau Wapres seperti dikutip dalam laman kominfo.go.id.
Dalam upaya menghindari konflik dan menciptakan kerukunan tersebut, Wapres memaparkan empat pendekatan. Yang pertama adalah bingkai politis (politik kebangsaan), yakni melalui penguatan wawasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang meliputi tiga konsensus, Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”, Pancasila dan Undang-undang Dasar 45. Kemudian yang kedua adalah bingkai teologis yang melalui pengembangan teologi kerukunan, dimana agama tidak dijadikan sebagai faktor pemecah belah tetapi menjadi faktor pemersatu dengan memperhatikan kondisi obyektif bangsa Indonesia yang majemuk. Sedangkan yang ketiga adalah bingkai sosiologis yaitu penguatan budaya kearifan lokal, karena setiap daerah atau suku memiliki nilai-nilai budaya yang dianggap sebagai kearifan lokal (local wisdom). Terakhir atau yang keempat yaitu bingkai yuridis yakni penguatan regulasi tentang kehidupan beragama secara komprehensif dan terintegrasi, baik dalam bentuk Undang-undang maupun peraturan hukum di bawahnya.
Apresiasi diberikan kepada Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dan Civitas Akademika Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Maulana Hasanuddin oleh Wapres atas diselenggerakannya simposium ini. Sehingga hasilnya diharapkan dapat memperkuat Pancasila sebagai paradigma dalam studi agama-agama di Indonesia.
“Saya merasa gembira dengan tema ini, karena simposium ini berarti akan membahas tentang hubungan Pancasila dan agama, yang keduanya tidak bisa dipisahkan, karena sila pertama Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Simposium Nasional “Studi dan Relasi Lintas Agama Berparadigma Pancasila” diharapkan dapat memperkuat Pancasila sebagai paradigma dalam studi agama-agama di Indonesia“, ucap Wapres sekaligus menutup sambutannya.
Pada kesempatan yang sama, Rektor UIN Sultan Maulana Hasanudin, Fauzul Iman mengucapkan terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada Universitas yang dipimpinnya untuk bekerja sama dengan BPIP dalam penyelenggaraan simposium ini. Beliau menyampaikan bahwa perguruan tinggi merupakan tempat yang relevan untuk membahas tema yang diangkat pada simposium ini karena merupakan tempat berkumpulnya para cendekiawan. Sehingga, pemikiran yang baik dapat diambil dan diintisarikan yang nantinya dijadikan sebuah gagasan untuk menjadi referensi pengambilan keputusan di masa yang akan datang.
“Perguruan tinggi adalah merupakan kumpulan para intelektual yang tentunya kebebasan akademik memberikan ruang yang sebebas-bebasnya, sedalam-dalamnya, setinggi-tingginya dan seobjektif-objektifnya untuk menghimpun tekad, mengambil kristalisasi-kristalisasi pemikiran dari berbagai kalangan narasumber, baik lintas agama maupun juga para cendekiawan dan para tokoh-tokoh yang tentu kompeten”, tandasnya.
Acara simposium SIGMA Pancasila terselenggara atas kerja sama BPIP dengan UIN Sultan Maulana Hasanudin,Serang, Banten. Pelaksanaannya selama tiga hari mulai tanggal 10 sampai 12 September 2020 dengan tujuan untuk menghimpun visi dan pemikiran lintas agama dalam menyusun referensi kebijakan tentang Pancasila sebagai paradigma studi dan relasi lintas agama di Indonesia. Hadir dalam acara simposium tersebut Rektor UIN Sultan Maulana Hasanudin, Ketua Dewan Pengarah BPIP Megawati Soekarno Putri, Kepala BPIP Yudian Wahyudi, Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah, serta pakar dan tokoh akademisi lintas agama. (Dani+Eka Maria)
0 Komentar