Ferry Sugeng Santoso, Pemilik Alam Batik di Desa Gunting, Kecamatan Sukorejo, Kabupaten Pasuruan mulai mengembangkan tanaman Indigofera Stubilantes sebagai penghasil warna “colour of the King”.
Saat ditemui di rumahnya, Minggu (27/06/2021) siang, Ferry mengungkapkan, tanaman Indigo adalah sejenis perdu dengan bentuk daun yang lebat dan bulat dan bisa menjadi tinggi maksimal 1-1,5 meter.
Tanaman ini dikenal dengan sebutan tanaman nila yang berasal dari Jepang dan banyak dikembangkan di daerah Temanggung, Jawa Tengah.
Saat ini, ia mengaku sudah menanam sekitar 500 tanaman indigo di daerah Nongkojajar, Kecamatan Tutur serta di sekitar Lereng Gunung Arjuno. Seluruh tanaman tersebut merupakan hasil dari kerja sama dengan beberapa pihak yang mendukung pengembangan tanaman ini.
“Kita sudah tanam sekitar 500 buah, dan ini memang baru akhir-akhir ini. Dan inilah awal langkah saya untuk mengembangkan indigo agar semakin banyak tersebar,” katanya.
Dijelaskan Ferry, bibit pohon indigo diperoleh dari biji buah indigo yang bentuknya seperti petai, namun ukurannya hanya hanya sebesar pangkal lidi. Dengan pewarnaan alami yang berasal dari daun indigo ini, jadilah batik yang berwarna emas biru, yang ia sebut dengan "Colour of The King"
“Colour of the king adalah istilah warna biru yang sangat elegan dan mahal, mengingat warna ini dipakai dalam pakaian raja-raja Jawa zaman dahulu,” ungkapnya.
Namun, sekalipun dominan biru, batik indigo pun bisa dicampur dengan warna lainnya. Untuk ini, Ferry pun tetap menggunakan pewarna alami, seperti dari kulit batang mahoni untuk warna coklatnya, serta daun mangga dan kulit kayu matoa. Sedangkan tanaman indigo diakuinya memiliki kekhasan tersendiri, lantaran punya daya rekat yang sangat cepat dan meski murah, tapi mengeliarkan warna yang mahal.
"Saya cuma melestarikan saja. Dulu batik Jawa semuanya pakai warna alam, salah satunya (daun) indigo, daun mangga dan kulit kayu mato. Warna indigo ini special karena warnanya yang sangat mahal,” singkatnya.
Untuk bisa menghasilkan warna emas biru, tidaklah mudah. Faktor cuaca sangat mempengaruhi keluarnya warna elegan ini, lantaran sangat dibutuhkan untuk proses pengeringan setelah proses celup selesai dilakukan.
Kata Ferry, proses celupan bisa memakan waktu dua minggu hingga satu bulan. Untuk sekali produksi dibutuhkan minimal 10 kilogram daun indigo basah. Untuk selanjutnya dari 10 kilogram daun bisa menghasilkan 1 kg campuran indigo.
"Satu kain itu butuh minimal 10 kilogram daun indigo basah. Dan kalau saya minimal 3 kwintal pengelolaan menjadi pasta indigo, hasilnya bisa 45 kilogram yang bisa digunakan pada 500 lembar kain," tutupnya.
Dengan mulai dikembangkannya indigo di Pasuruan, Ferry mengajak para pembatik lain untuk sama-sama melakukan apa yang ia lakukan.
“Perlu digerakkan di Pasuruan untuk mencukupi suistanable. Kalau semakin banyak, maka kita tidak kekurangan sumber pewarnaan,” tutupnya. (emil)
9524 x Dilihat
530 Disukai
635 Tidak Suka
Share Berita :
Ringkasan AIBeta
Ringkasan AI adalah alat untuk mempermudah Anda membaca berita dalam bentuk poin-poin penting. Ringkasan ini dibuat oleh kecerdasan buatan (AI), dan kami tidak menjamin keakuratan sepenuhnya.
Silahkan klik tombol di bawah ini untuk menghasilkan ringkasan berita oleh AI.
0 Komentar
Komentar Anda
Alamat
Komplek Perkantoran Pemerintah Kabupaten Pasuruan JL.Raya Raci KM - 9 Bangil, Pasuruan
0 Komentar